Hari ini lagi-lagi blog walking, lalu ketemu sama posting-an yang membicarakan, eh bukan, tapi mempertanyakan pernikahan. Bahwa: apakah pernikahan itu perlu? Dulu, duluuu banget pas jaman kuliah, aku dan teman-temanku pun pernah melakukannya.
Sebagai mahasiswa yang sok kritis, kami sering mempertanyakan banyak hal, termasuk pernikahan. Jangan menganggap kami feminis, hanya karena kami mempertanyakan hal ini. Jangan anggap juga kami perempuan-perempuan yang mau membenarkan diri karena belum menikah. No, big no. Waktu itu kami masih unyu, "kapan nikah?" Belum jadi basa-basi yang super basi yang sering kami terima. Kami mempertanyakannya karena kami memang sering mempertanyakan banyak hal. Kami menjadi mahasiswa yang nggak menerima semua konsep begitu saja. Jangan anggap waktu itu kami diskusi serius ya? Kami hanya ngobrol santai, di DPR (Di bawah Pohon Rindang) lalu entah kenapa pembicaraan sampai ke sana.
Waktu itu diskusi dimulai dengan pertanyaan "Kenapa Allah menyunahkan umat islam menikah?". Pasti ada alasan penting kenapa menikah sampai disunahkan, ya kan? Selalu ada alasan penting di balik perintah Allah. Ya kan? Lalu apa pentingnya menikah? Kalau hanya untuk memiliki keturunan, supaya manusia tidak punah, maka nggak perlu ada pernikahan, karena orang bisa memiliki anak tanpa ikatan pernikahan. Selama mereka sepakat tidur bareng di masa produktif, sepakat untuk punya anak, maka mereka punya anak. Selain itu sekarang orang tidak perlu berhubungan intim untuk mendapatkan anak. Teknologi sekarang sudah memungkinkan seseorang memiliki keturunan dengan adanya bayi tabung, klonning, dsb. Jadi teori menikah supaya manusia tidak punah jelas bukan jawabannya.
Teori kedua adalah, pernikahan disunahkan supaya manusia bisa menjadi lebih dewasa dengan mengenal hak dan kwajiban masing-masing. Tapi teori ini pun gagal, pernikahan bukan satu-satunya cara untuk membuat seseorang dewasa. Bahkan kita pun sering melihat orang yang sudah menikah pun masih kekanak-kanakan.
Sepertinya waktu itu banyak sekali spekulasi-spekulasi yang kami lontarkan, tapi aku lupah apah ajah. Hahaha. Dan sepertinya waktu itu kami masih bertanya-tanya kenapa pernikahan itu disunahkan tanpa menemukan jawabannya. Entah apa kesimpulan diskusi itu, yang jelas waktu itu dari DPR kami pindah ke Kansas untuk makan. Bisa jadi masalah itu terlupakan oleh perut lapar.
Tapi kalau sekarang aku ditanya, mungkin aku akan menjawab seperti ini: Manusia punya hasrat seksual, mereka butuh penyaluran, dan kalau tidak ada pernikahan, tentu manusia sudah seperti binatang. Serobot sana serobot sini tanpa mempertanggung jawabkan akibatnya. Rebut laki-laki sana rebut perempuan sini, bacok sana bacok sini, demi mendapatkan yang mereka inginkan. Lalu ketika seorang bayi lahir, ibunya bertanya "ini anak dari lelaki yang mana?" Duh! Bisa jadi banyak bayi-bayi unyu ditinggal di pinggir jalan, ogah diurusi sama orang tuanya.
Dengan satu aturan pernikahan banyak sekali yang kemudian terselesaikan:
1. Masalah hasrat seksual.
2. Masalah penyaluran kasih sayang.
3. Masalah hak dan kewajiban orang tua pada anak.
4. Masalah generasi penerus
5. Masalah hak dan kewajiban anak pada orang tua.
6. Masalah pendewasaan (meskipun nggak semua, tapi pada umumnya orang memang bisa lebih dewasa setelah menikah).
Memang pernikahan bukan satu-satunya cara untuk mencapai semua itu (kecuali nomer satu emang kudu melalui pernikahan), banyak cara untuk menjadi dewasa, banyak cara untuk menyalurkan kasih sayang, banyak cara untuk mengenal hak dan kewajiban, banyak cara untuk mempertahankan generasi penerus manusia, dan karena banyak cara dan bukan satu-satunya cara itulah maka menikah "hanya" disunahkan bukan DIWAJIBKAN! Meskipun cuma disunahkan aku tetep pengen nikah.
Ya kan? Bener kan? Punya opini sendiri? Silakan komen di bawah dengan sopan, santun, kalem dan nggak alay. :)
|
Gambar aku ambil dari sini |