January 9, 2013

When the Sintingest Come


Ini adalah cerita konyol yang terjadi beberapa hari yang lalu. Sebenernya bukan cerita konyol sih, tapi cerita menjengkelkan berbaur kekonyolan. Berawal dari sebuah kejadian menyebalkan beberapa hari yang lalu, ketika salah satu teman kerja saya mengajak saya bicara tapi saya malah asyik menggunakan headset. Sebenarnya teman-teman yang lain sudah menyarankan supaya dia menggunakan YM untuk berkomunikasi denganku, tapi saran teman-temanku ini tidak diindahkan olehnya. Alih-alih menggunakan YM dia justru melempariku dengan biji salak. Kaget dengan suara biji salak yang mengenai meja aku latah beritighfat, tetapi mengetahui kejadian itu disengaja, kontan aku mengatainya “kampret”. Saya nggak yakin si ibu ini mendengarnya, karena waktu saya menanyakan apakah teman-teman mendengar saya mengumpat, semuanya mengatakan tidak. Tapi meskipun begitu, sumpah saya menyesal sudah mengatakannya.

Baru kali saya mengumpat “Kampret” dan saya tujukan pada orang yang saya kenal. Saya memang biasa mengatakan itu tapi biasanya dalam konteks bercanda atau ketika sedang mengumpat untuk hal-hal yang tidak penting atau orang yang tidak saya kenal.

Ya akhir-akhir ini emosiku memang suka naik turun nggak jelas. Beberapa bulan terakhir sudah berapa orang yang saya marahi, dan saya ambegi gara-gara emosi tidak menentu. Meskipun untuk kasus yang terakhir, teman-temanku mengatakan wajar kalo saya mengatainya “kampret” sebab dia sendiri telah bertindak kurang ajar ada saya. But hey, meskipun dia salah, tak seharusnya juga saya lepas control.

Sumpah saya menyesal pernah mengatainya “kampret”. Mungkin penyesalaannya bukan karena saya telah mengatainya itu, tetapi lebih kepada kenapa saya bisa lepas control. Bagi orang yang hanya mengenal saya dari luarnya, mungkin menganggap saya biasa mengatakan hal-hal jorok pada orang-orang, tapi saya sama sekali tidak pernah melakukannya, kecuali sekali itu. Dan itu pun sungguh saya sesali. (Eh kalo diinget-inget pernah deng, mengatai orang “kampret” but I don’t regret that, coz he deserve to get that :p)

Merasa sangat menyesal dan merasa bersalah, saya pun meluapkan emsoi dengan membuat tweet “apakah di jogja ada les menejemen emsoi? Serius” dengan mention jogjaupdate. Ya, saya bilang emosi, sebab beberapa menit kemudan saya sudah lupa sudah membuat tweet itu. Entah jogjaupdate sedang tidak ada kerjaaan atau sedang sepi mention, tweet saya yang akhir-akhir ini tidak pernah di retweet, ini tumben-tumbenan diretweet. Mungkin adminnya sedang ingin membuatku jengkel waktu itu. Dan berhasil, selamat untuk admin jogjaupdate yang bikin saya senwen waktu itu.



Ya, waktu tweetku diretweet, saya udah sedkit lupa saya punya permasalahan itu. Banyak yang menanggapi, tapi kebanyakan orang yang menanggapi, sepertinya menganggap saya sinting.













Dan ditengah-tengak kekonyolan itulah saya melakukan tidakan yang super-duper konyol. Saya menghubungi seseorang yang katanya adalah dosen menajemen emosi di salah satu universitas. Beliau menyarankan saya untuk menghubungi dia melalui DM. dan saya pun melakukannya. Dan bodohnya, kenapa saya menceritakan tindakan-tidankan konyol saya waktu itu, termasuk tindakan-tindakan emsional saya akhir-akhir ini. 

Dan apakah solusisnya? Menurutku nothing. Dia pintar berteori menurutku, tapi sepi praktek. Daia bisa menjelaskan secara mendetail teorinya, tapi tidak untuk dicermati oleh akal saya yang dudul. Tapi yang lebih saya sesali adalah tindakn saya yang cuhat pada orang yan g tidak dikenal.

Sekian dan terimakasih, jangan tiru tindakan konyol saya.

1 comment: