Saya masih ingat
sekitar 10 tahun yang lalu ketika teman saya memamerkan bukunya yang tidak
dijual di toko buku. Saya heran, kok bisa ada sebuah buku tidak dijual di toko
buku? Waktu itu saya masih menganggap bahwa buku haruslah dijual di toko buku.
Ya, saya tidak pernah membayangkan bahwa selain di penerbit konvensional,
naskah juga bisa diterbitkan sendiri, atau yang sekarang biasa dikenal dengan
sebutan self publishing.
Kita memang terbiasa
dengan musik indie, film indie, namun kita masih menganggap aneh, bahkan tidak
pernah terlintas di benak kita bahwa menerbitkan buku pun bisa dilakukan dengan
cara indie. Memang 5-10 tahun yang lalu, self
publishing atau penerbitan indie belum familiar, bahkan masih merupakan
sesuatu yang aneh. Sampai sekarang pun masih banyak orang yang belum tahu apa
itu self publishing.
Self publishing adalah menerbitkan buku secara mandiri. Mandiri,
karena apa-apa dilakukan sendiri, mulai dari edit naskah, layout nakah, membuat
design cover, mencetak buku, lalu menjualnya. Jika ada biaya yang harus
dikeluarkan, penulis pun harus menanggungnya. Sekitar 10 atau 5 tahun yang lalu,
orang yang ingin ber-self publishing
harus repot, karena harus melakukan semua itu sendiri. Namun beberapa tahun ini
perusahaan yang memberikan layanan self
publishing banyak bermunculan.
Fenomena munculnya self publishing ini ternyata tidak hanya
terjadi di Indonesia, di negara-negara lain juga muncul fenomena self publishing. Di Indonesia sendiri, layanan
self publishing ini ada dua macam,
yakni self publishing yang berbayar
dan self publishing yang gratis. Self publishing yang memberikan layanan
gratis, penulis harus mengurus editing, layout dan juga design cover. Pihak
penerbit nanti yang akan bertanggung jawab sebagai pencetaknya. Sedangkan self publishing yang berbayar, kebutuhan
penulis seperti editing, layout, design cover dan juga ISBN akan diurus oleh
penerbit. Penulis cukup membayar biaya penerbitan. Biaya yang dikeluarkan oleh
penulis ini untuk membiayai jasa yang telah disebutkan di atas.
Munculnya self publishing di Indonesia tak serta
merta membuat semua orang berpikiran positif tentang self publishing. Banyak orang yang mencibir tentang kualitas
tulisan buku terbitan self publishing.
Tidak adanya peran editor yang menyeleksi naskah di self publishing membuat banyak orang meragukan isinya. Selama
memiliki kemauan, semua orang bisa menerbitkan buku tanpa terkecuali. Bahkan
beberapa penerbit konvensional merendahkan perusahaan yang memberikan layanan self publishing. Memanfaatkan semangat
para penulis pemula untuk keuntungan pribadi, menurut mereka. Padahal tanpa
adanya perusahaan yang memberikan layanan self
publishing, buku indie selalu ada di sekitar kita. Akan selalu ada
penulis-penulis yang menempuh jalur ini untuk menyebarkan ide mereka. Munculnya
perusahaan self publishing justru
memberikan pemahaman baru bagi masyarakat, bahwa menerbitkan buku tidak hanya
melalui jalur konvensional. Ada jalur lain yang bisa mereka tempuh.
Jika dilihat dari
segi biaya dan menyebarannya, menerbitkan buku secara indie tidak jauh berbeda
dengan mengorbitkan musik secara indie, atau membuat film indie. Tapi entah
kenapa nasib ketiganya berbeda. Dari segi biaya baik buku, film atau musik indie
dibiayai sendiri oleh si pencipta. Dari segi penyebarannya, musik, buku atau
film indie biasanya dikonsumsi oleh komunitas sendiri. Para pelaku indie inilah
yang harus bergerak dan aktif untuk mempromosikan karya mereka.
Namun dilihat dari
segi nasib, ketiga karya seni indie ini berbeda. Musik dan film indie jauh
lebih dikenal masyarakat dibandingkan buku indie. Mungkin hal ini disebabkan
oleh masyarakat kita yang memiliki minat baca yang masih rendah. Masyarakat
kita lebih menyukai film dan musik di bandingkan karya tulis. Bahkan orang
sudah bisa menerima dan mengkonsumsi film atau music indie. Dilihat dari image, musik indie dan film indie
terlihat lebih baik dibandingkan dengan buku indie. Musik dan film indie
seringnya dianggap sebagai musik atau film yang anti mainstream. Sedangkan buku indie? seringnya dianggap sebagai buku
yang belum bisa tembus penerbit konvensional, buku yang tertolak dengan kulitas
yang masih pas-pasan.
Tapi benarkah buku
indie atau buku self publishing ini
selalu buruk? Belum tentu. Sama seperti musik dan film indie, banyak di antara
buku-buku ini yang sebenarnya berkualitas. Banyak di antara buku-buku indie ini
yang akhirnya dilirik dan diterbitkan di penerbit konvensional. Beberapa buku
indie juga mendapatkan penghargaan karena kualitasnya.
Saya pribadi lebih
melihat self publishing sebagai era kebebasan. Kebebasan untuk menuangkan ide
dalam tulisan dan mempublikasikannya. Semua orang boleh dan bisa menuangkan ide
lalu menyebarkan tulisannya. Kita, penulis sendiri yang boleh menentukan apakah
buku yang akan kita tulis layak dikonsumsi oleh orang banyak. Dan penulis
sendiri yang nantinya akan mempertanggungjawabkan isi ke pada masyarakat luas. Seperti
jalur indie lainnya, menerbitkan buku secara indie sebenarnya memberi penulis
kebebasan untuk berkarya tanpa ada batasan-batasan dari pihak lain. Jadi
masihkah Self Publishing, memanfaatkan penulis pemula? Semua penilaian saya
kembalikan pada Anda.
Gambar aku ambil dari sini |
Ditulis guna
memenuhi tugas pena merah, sebelum diterbitkan di E-mag Nouvalitera :D
No comments:
Post a Comment