Ternyata tahun ini ada yang berbeda dengan lebaran-lebaran sebelumnya. Aku pernah mengalami perubahan besar di lebran tahun 2006. Perbedaan terbesar lebaran dengan lebaran tahun sebelumnya adalah saat Bapakku tidak ada. Ada sedih yang sangat mendalam ketika pertama kali berlebaran tanpa bapak. Pertama kali lebaran tanpa bapak ibukku pun menangis hebat. Sejak lebaran itu dan sampai lebaran tahun 2012 lalu, pesan budeku tiap lebaran adalah "momong ibu baik-baik". Momong, satu kata yang biasanya digunakan untuk menjaga anak kecil. Momong bisa juga diartikan sebagai sangat menjaga dengan hati-hati. Dari pesan budeku beliau ingin menyampaikan bahwa sekarang Bapakku sudah tidak ada sekarang tugasku untuk menjaga ibuk baik-baik. Beban itu sekarang ada di pundak anak-anaknya bukan di pundak bapak lagi.
Itu adalah kehilangan dan perubahan terbesar dalam hidupku. Sampai sekarang setiap mendekati lebaran pun aku masih sering teringat bapak. Kebiasaan bapak dan juga kegiatan kami saat mendekati lebaran, dan juga guyonan beliau tentang puasa yang selalu sama setiap tahun. Setiap tahun beliau cerita hal yang sama tapi budeku tidak pernah absen tertawa, bahkan selalu sampai menangis. Dulu aku bosan mendengar cerita itu, karena sudah hafal. Tapi ketika beliau sudah tidak ada, bahkan aku mengulang cerita itu di depan budeku dan budeku masih saja tertawa. Setiap kali mendekati lebaran seperti ini aku selalu merindukan bapakku. Kali ini pun sama. Itu adalah perubahan lebaran terbesar dalam hidupku. Dan tahun ini pun aku mengalami perubahan lagi.
Pertemuan manusia dengan siklus hidupnya adalah sesuatu yang wajar, semua orang akan mengalami siklus hidup mereka masing-masing. Lahir, puber, menikah, mempunyai anak, kemudian meninggal. Tapi yang tidak pernah aku ketahui adalah ketika siklus hidup orang lain itu bisa sangat berpengaruh pada hidup kita sebagai orang dekatnya.
Tahun 2012 yang lalu temanku menikah. Dia adalah salah satu teman terdekatku. Teman senasib sepenanggungan. Pernah satu sekolahan, pernah satu kos waktu kuliah, pernah menjadi manusia pengangguran bareng, dan menjadi high quality jomblo bareng di saat semua orang seumuran kami sudah menikah. Kami saling berbagi kesedihan dan juga kebahagiaan. Meski kadang kami tidak saling tegur sapa karena jarak yang memisahkan, tapi kami masih saling memiliki.
Setahun yang lalu, aku masih ingat di bulan Ramadahn dia mengabarkan bahwa dia akan menikah akhir tahun 2012. Ada perasaan sedih saat itu, takut akan kehilangannya, takut tidak akan memiliki rasa senasib sepenanggungan lagi, dan takut bahwa kami sudah tidak bisa saling memahami. Aku sempat bersedih beberapa bulan karena itu. Iya, aku seharusnya berbahagia untuknya, dan waktu itu aku memang bahagia. Tapi nyatanya kesedihanku jauh lebih besar.
Jangan anggap aku jahat, karena kesedihan ini bukan bersumber dari kedengkian, tapi bersumber dari ketakutan akan kehilangan dia. Ketika teman kita memasuki siklus hidup yang baru dan kita tertinggal darinya, terkadang kita merasa tidak berada di dunia yang sama lagi. Mungkin karena yang satu merasa temannya lupa bagaimana rasanya sebelum melewati satu tahap kehidupan yang baru, sedangkan teman kita merasa "well ada yang jauh lebih buruk dari tahap kehidupanmu yang itu" atau mungkin "aku punya masalah, aku harus cari bimbingan dari orang yang sudah berpengalaman". Dan saat itu tentu bukan kita yang berpengalaman itu, tapi orang lain. Kemudian komunikasi pun menjadi tidak sama. Gelombang frekuensi berbeda, sehingga tidak ada kecocokan lagi.
Hampir satu tahun dia menikah, dia tidak pernah memberi kabar entah tentang kehidupan pernikahannya atau kehiduapannya yang lain. Dia memang tidak jarang memberi kabar. Dari dulu pun kami tidak intens saling memberi kabar. Tapi saat masing-masing punya masalah, dialah dan akulah orang pertama yang akan diberi tau. Hubungan kami akan intens saat kami sedang jatuh cinta, patah hati atau sedang punya masalah. Kami memang jarang berkomunikasi tapi kami saling memiliki. Kami saling merasa bahwa kami saling memahami satu sama lain. Dan tidak ada yang bisa lebih memahami diriku selain dia, dan tak ada yang bisa memahami dia lebih baik dari aku memahaminya.
Sebelum dia menikah kami memiliki kebiasaan yang sama setiap tahun sebelum lebaran, yakni hunting baju bareng. ketika aku sudah membeli baju untukku sendiri, Aku akan dengan senang hati mengantarnya memilih baju. Yang jelas, kami selalu meluangkan waktu bersama ke pusat kota Jogja sebelum atau sesudah lebaran. Aku akan menemaninya memilih baju lebaran atau menemaninya membeli oleh-oleh untuk teman-temannya di Jakarta.
Tapi tahun ini ada yang berbeda, tahun ini dia mudik H+1 atau di lebaran kedua. Tidak ada ritual membeli baju bareng atau mencari oleh-oleh piapia untuk teman-temnnya. Dan tiba-tiba aku merindukan saat itu. Saat kami jalan bareng nyari baju. Saat kami meluangkan banyak waktu untuk bersenang-senang bersama. Setelah lebaran kami memang sering meluangkan waktu bersama. Karena hanya lebaranlah dia punya waktu lama untuk mudik.
Dan bahkan tahun ini kami tidak sempat bertemu. Pesan singkatku "sampai ketemu di ngentakrejo" hanyalah sebatas bbm biasa, tanpa ada realisasinya. Iya, aku masih merindukan sahabatku. Aku masih merindukan gelak tawa bersama itu. Tapi mungkin semua sudah tidak lagi sama.
Itu adalah kehilangan dan perubahan terbesar dalam hidupku. Sampai sekarang setiap mendekati lebaran pun aku masih sering teringat bapak. Kebiasaan bapak dan juga kegiatan kami saat mendekati lebaran, dan juga guyonan beliau tentang puasa yang selalu sama setiap tahun. Setiap tahun beliau cerita hal yang sama tapi budeku tidak pernah absen tertawa, bahkan selalu sampai menangis. Dulu aku bosan mendengar cerita itu, karena sudah hafal. Tapi ketika beliau sudah tidak ada, bahkan aku mengulang cerita itu di depan budeku dan budeku masih saja tertawa. Setiap kali mendekati lebaran seperti ini aku selalu merindukan bapakku. Kali ini pun sama. Itu adalah perubahan lebaran terbesar dalam hidupku. Dan tahun ini pun aku mengalami perubahan lagi.
Pertemuan manusia dengan siklus hidupnya adalah sesuatu yang wajar, semua orang akan mengalami siklus hidup mereka masing-masing. Lahir, puber, menikah, mempunyai anak, kemudian meninggal. Tapi yang tidak pernah aku ketahui adalah ketika siklus hidup orang lain itu bisa sangat berpengaruh pada hidup kita sebagai orang dekatnya.
Tahun 2012 yang lalu temanku menikah. Dia adalah salah satu teman terdekatku. Teman senasib sepenanggungan. Pernah satu sekolahan, pernah satu kos waktu kuliah, pernah menjadi manusia pengangguran bareng, dan menjadi high quality jomblo bareng di saat semua orang seumuran kami sudah menikah. Kami saling berbagi kesedihan dan juga kebahagiaan. Meski kadang kami tidak saling tegur sapa karena jarak yang memisahkan, tapi kami masih saling memiliki.
Setahun yang lalu, aku masih ingat di bulan Ramadahn dia mengabarkan bahwa dia akan menikah akhir tahun 2012. Ada perasaan sedih saat itu, takut akan kehilangannya, takut tidak akan memiliki rasa senasib sepenanggungan lagi, dan takut bahwa kami sudah tidak bisa saling memahami. Aku sempat bersedih beberapa bulan karena itu. Iya, aku seharusnya berbahagia untuknya, dan waktu itu aku memang bahagia. Tapi nyatanya kesedihanku jauh lebih besar.
Jangan anggap aku jahat, karena kesedihan ini bukan bersumber dari kedengkian, tapi bersumber dari ketakutan akan kehilangan dia. Ketika teman kita memasuki siklus hidup yang baru dan kita tertinggal darinya, terkadang kita merasa tidak berada di dunia yang sama lagi. Mungkin karena yang satu merasa temannya lupa bagaimana rasanya sebelum melewati satu tahap kehidupan yang baru, sedangkan teman kita merasa "well ada yang jauh lebih buruk dari tahap kehidupanmu yang itu" atau mungkin "aku punya masalah, aku harus cari bimbingan dari orang yang sudah berpengalaman". Dan saat itu tentu bukan kita yang berpengalaman itu, tapi orang lain. Kemudian komunikasi pun menjadi tidak sama. Gelombang frekuensi berbeda, sehingga tidak ada kecocokan lagi.
Hampir satu tahun dia menikah, dia tidak pernah memberi kabar entah tentang kehidupan pernikahannya atau kehiduapannya yang lain. Dia memang tidak jarang memberi kabar. Dari dulu pun kami tidak intens saling memberi kabar. Tapi saat masing-masing punya masalah, dialah dan akulah orang pertama yang akan diberi tau. Hubungan kami akan intens saat kami sedang jatuh cinta, patah hati atau sedang punya masalah. Kami memang jarang berkomunikasi tapi kami saling memiliki. Kami saling merasa bahwa kami saling memahami satu sama lain. Dan tidak ada yang bisa lebih memahami diriku selain dia, dan tak ada yang bisa memahami dia lebih baik dari aku memahaminya.
Sebelum dia menikah kami memiliki kebiasaan yang sama setiap tahun sebelum lebaran, yakni hunting baju bareng. ketika aku sudah membeli baju untukku sendiri, Aku akan dengan senang hati mengantarnya memilih baju. Yang jelas, kami selalu meluangkan waktu bersama ke pusat kota Jogja sebelum atau sesudah lebaran. Aku akan menemaninya memilih baju lebaran atau menemaninya membeli oleh-oleh untuk teman-temannya di Jakarta.
Tapi tahun ini ada yang berbeda, tahun ini dia mudik H+1 atau di lebaran kedua. Tidak ada ritual membeli baju bareng atau mencari oleh-oleh piapia untuk teman-temnnya. Dan tiba-tiba aku merindukan saat itu. Saat kami jalan bareng nyari baju. Saat kami meluangkan banyak waktu untuk bersenang-senang bersama. Setelah lebaran kami memang sering meluangkan waktu bersama. Karena hanya lebaranlah dia punya waktu lama untuk mudik.
Dan bahkan tahun ini kami tidak sempat bertemu. Pesan singkatku "sampai ketemu di ngentakrejo" hanyalah sebatas bbm biasa, tanpa ada realisasinya. Iya, aku masih merindukan sahabatku. Aku masih merindukan gelak tawa bersama itu. Tapi mungkin semua sudah tidak lagi sama.
it's so... :'(
ReplyDeleteseperti lagunya NOAH: Tak Lagi Sama
Aku malah gak ngerti nek ada lagu itu :))
Delete