March 17, 2014

Self Publishing, hanya memanfaatkan penulis pemula?



Saya masih ingat sekitar 10 tahun yang lalu ketika teman saya memamerkan bukunya yang tidak dijual di toko buku. Saya heran, kok bisa ada sebuah buku tidak dijual di toko buku? Waktu itu saya masih menganggap bahwa buku haruslah dijual di toko buku. Ya, saya tidak pernah membayangkan bahwa selain di penerbit konvensional, naskah juga bisa diterbitkan sendiri, atau yang sekarang biasa dikenal dengan sebutan self publishing

Kita memang terbiasa dengan musik indie, film indie, namun kita masih menganggap aneh, bahkan tidak pernah terlintas di benak kita bahwa menerbitkan buku pun bisa dilakukan dengan cara indie. Memang 5-10 tahun yang lalu, self publishing atau penerbitan indie belum familiar, bahkan masih merupakan sesuatu yang aneh. Sampai sekarang pun masih banyak orang yang belum tahu apa itu self publishing

Self publishing adalah menerbitkan buku secara mandiri. Mandiri, karena apa-apa dilakukan sendiri, mulai dari edit naskah, layout nakah, membuat design cover, mencetak buku, lalu menjualnya. Jika ada biaya yang harus dikeluarkan, penulis pun harus menanggungnya. Sekitar 10 atau 5 tahun yang lalu, orang yang ingin ber-self publishing harus repot, karena harus melakukan semua itu sendiri. Namun beberapa tahun ini perusahaan yang memberikan layanan self publishing banyak bermunculan. 

Fenomena munculnya self publishing ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara-negara lain juga muncul fenomena self publishing. Di Indonesia sendiri, layanan self publishing ini ada dua macam, yakni self publishing yang berbayar dan self publishing yang gratis. Self publishing yang memberikan layanan gratis, penulis harus mengurus editing, layout dan juga design cover. Pihak penerbit nanti yang akan bertanggung jawab sebagai pencetaknya. Sedangkan self publishing yang berbayar, kebutuhan penulis seperti editing, layout, design cover dan juga ISBN akan diurus oleh penerbit. Penulis cukup membayar biaya penerbitan. Biaya yang dikeluarkan oleh penulis ini untuk membiayai jasa yang telah disebutkan di atas.
Munculnya self publishing di Indonesia tak serta merta membuat semua orang berpikiran positif tentang self publishing. Banyak orang yang mencibir tentang kualitas tulisan buku terbitan self publishing. Tidak adanya peran editor yang menyeleksi naskah di self publishing membuat banyak orang meragukan isinya. Selama memiliki kemauan, semua orang bisa menerbitkan buku tanpa terkecuali. Bahkan beberapa penerbit konvensional merendahkan perusahaan yang memberikan layanan self publishing. Memanfaatkan semangat para penulis pemula untuk keuntungan pribadi, menurut mereka. Padahal tanpa adanya perusahaan yang memberikan layanan self publishing, buku indie selalu ada di sekitar kita. Akan selalu ada penulis-penulis yang menempuh jalur ini untuk menyebarkan ide mereka. Munculnya perusahaan self publishing justru memberikan pemahaman baru bagi masyarakat, bahwa menerbitkan buku tidak hanya melalui jalur konvensional. Ada jalur lain yang bisa mereka tempuh.  

Jika dilihat dari segi biaya dan menyebarannya, menerbitkan buku secara indie tidak jauh berbeda dengan mengorbitkan musik secara indie, atau membuat film indie. Tapi entah kenapa nasib ketiganya berbeda. Dari segi biaya baik buku, film atau musik indie dibiayai sendiri oleh si pencipta. Dari segi penyebarannya, musik, buku atau film indie biasanya dikonsumsi oleh komunitas sendiri. Para pelaku indie inilah yang harus bergerak dan aktif untuk mempromosikan karya mereka. 

Namun dilihat dari segi nasib, ketiga karya seni indie ini berbeda. Musik dan film indie jauh lebih dikenal masyarakat dibandingkan buku indie. Mungkin hal ini disebabkan oleh masyarakat kita yang memiliki minat baca yang masih rendah. Masyarakat kita lebih menyukai film dan musik di bandingkan karya tulis. Bahkan orang sudah bisa menerima dan mengkonsumsi film atau music indie. Dilihat dari image, musik indie dan film indie terlihat lebih baik dibandingkan dengan buku indie. Musik dan film indie seringnya dianggap sebagai musik atau film yang anti mainstream. Sedangkan buku indie? seringnya dianggap sebagai buku yang belum bisa tembus penerbit konvensional, buku yang tertolak dengan kulitas yang masih pas-pasan.

Tapi benarkah buku indie atau buku self publishing ini selalu buruk? Belum tentu. Sama seperti musik dan film indie, banyak di antara buku-buku ini yang sebenarnya berkualitas. Banyak di antara buku-buku indie ini yang akhirnya dilirik dan diterbitkan di penerbit konvensional. Beberapa buku indie juga mendapatkan penghargaan karena kualitasnya. 

Saya pribadi lebih melihat self publishing sebagai era kebebasan. Kebebasan untuk menuangkan ide dalam tulisan dan mempublikasikannya. Semua orang boleh dan bisa menuangkan ide lalu menyebarkan tulisannya. Kita, penulis sendiri yang boleh menentukan apakah buku yang akan kita tulis layak dikonsumsi oleh orang banyak. Dan penulis sendiri yang nantinya akan mempertanggungjawabkan isi ke pada masyarakat luas. Seperti jalur indie lainnya, menerbitkan buku secara indie sebenarnya memberi penulis kebebasan untuk berkarya tanpa ada batasan-batasan dari pihak lain. Jadi masihkah Self Publishing, memanfaatkan penulis pemula? Semua penilaian saya kembalikan pada Anda.
 
Gambar aku ambil dari sini
Ditulis guna memenuhi tugas pena merah, sebelum diterbitkan di E-mag Nouvalitera :D

No comments:

Post a Comment