December 11, 2013

Kurangnya Empati Dokter

Sebenarnya sudah lama aku dan keluargaku tidak percaya layanan kesehatan medis mengingat banyaknya cerita tidak mengenakkan selama ini. Kami sendiri sebenarnya tidak pernah menjadi korban, tapi cerita dari orang-orang terdekat membuat kami lebih waspada jika harus berurusan dengan pelayan kesehatan. 

Salah satu yang sering dikeluhkan banyak orang adalah kurangnya empati pelayan kesehatan terhadap pasien. Kami tahu akan capek sekali jika pelayan kesehatan harus berempati kepada semua pasien setiap hari. Menjalani pekerjaannya sepanjang waktu dan terlalu sering bertemu dengan pasien dengan berbagai macam penyakit menjadikan empati mereka menguap entah ke mana. Tapi meskipun capek, seharusnya pelayan kesehatan tetap harus berempati pada pasien atau paling tidak menghindari hal-hal yang bisa membuat pasien merasa tidak nyaman. Tidak semestinya mereka mengatakan hal-hal menjatuhkan mental pasien.

Mengenai hal ini kakak lelakiku pernah mengalami sendiri dan aku menjadi saksinya. Entah waktu itu tahun berapa, mungkin sekitar tahun 2009 ketika kakakku jatuh dari motor dan hidungnya patah. Kakakku harus dirawat di klinik swasta di Kulon Progo. Sehari setelah kakakku kecelakaan dia disinar X dan diketahui bahwa hidungnya patah. Sebenarnya waktu itu kami sudah tahu kalau hidung kakakku patah karena tanda-tandanya menunjukkan hal itu. Setelah hasil sinar X diketahui, dokter masuk ke ruangan Kakakku, dan melaporkan hasil rongen. Di depanku dan di depan kakakku dia berkata seperti ini "parah ini, hidungnya patah, harus segera dioperasi ini" berulang-ulang. Dokter itu berbicara tanpa sopan santun, tanpa basa-basi, tanpa empati sedikitpun. Dia berbicara keras, seperti berbicara bahwa harga cabe sudah naik pada sesama pedagang cabe. Dokter itu sedang berbicara dengan seorang pasien, yang bisa jadi pasiennya tidak seperti kami. Bisa jadi pasiennya grusa-grusu panikan dan tidak tahu apa-apa, lalu memutuskan segera operasi saat itu juga. 

Kami tidak tahu apa maksud dokter itu berbicara tanpa empati dan tanpa sopan santun seperti itu. Kami tahu hidung patah memang tidak parah, meskipun begitu menurutku seorang dokter tetap harus mengatakan dengan lembut, pelan-pelan dengan sopan. Apa dia berbicara seperti itu karena hidung patah itu tidak terlalu berbahaya? Sehingga menyampaikannya tidak perlu pelan, karena tidak akan membuat kami panik? Atau suudzon-ku, karena dia ingin kami segera melakukan? Mengatakan demikian justru supaya kami panik dan segera mengiyakan operasi dengan dokter tersebut.

Untungnya kami adalah orang-orang yang tidak terlalu bodoh, kami tahu separah-parahnya hidung patah tidak akan terlalu membahayakan nyawa (meskipun hidup mati itu tergantung keputusan yang di Atas) jadi kami santai saja saat mendengar dokter itu mengatakan hal demikian. Kami hanya saling berpandangan, setelah dokter itu pergi kami hanya menirukan kata-katanya "parah ini, parah harus segera dioperasi". Kami hanya tidak suka cara dokter itu menyampaikan diagnosa penyakit yang telah dilakukannya. Dokter itu berbicara kepada pasiennya tanpa memikirkan perasaan pasien. Karena mendapat perlakuan seperti itu, kami memutuskan untuk melakukan operasi di tempat lain.

Bisa dibayangkan tidak, jika pasiennya didiagnosa penyakit jantung, ginjal, cancer atau diabetes? Betapa akan sedihnya pasien dan juga keluarga jika dokter menyampaikan penyakit pasien dengan cara demikian. Sebuah penyakit meskipun disampaikan dengan cara halus tetap akan membuat pasien dan keluarga pasien sedih. Jika disampaikan dengan cara yang tanpa perasaan seperti itu, pasti pasien dan keluarga pasien akan down.

Ternyata hal ini tidak hanya kami alami, beberapa kenalan kami juga pernah mengalami hal ini. Meskipun tidak persis seperti yang kami alami tapi mereka juga mengeluhkan betapa payahnya empati,  pelayan kesehatan terutama dokter, kepada pasien dan keluarganya. Lebih parahnya lagi, kenalan kami yang tidak mendapat empati dari dokter itu memiliki penyakit yang lebih parah dibandingkan kakakku. Jadi waktu mereka mengingat peristiwa itu, mereka bercerita dengan penuh emosi.

Dokter dalam idealisme kami adalah seorang penolong, pemperpanjang umur seseorang dengan menyembuhkan penyakit pasien. Karena yang mereka tolong dan hadapi adalah manusia yang memiliki perasaan, seharunya dokter miliki empati, supaya pasien merasa dimanusiakan suapaya mereka bisa sembuh lebih cepat. Sayangnya banyak dokter yang telah kehilangan rasa empati pada pasien. Para dokter hanya menganggap "dokter" adalah pekerjaan. Sedangkan pasien adalah obyek mereka dalam rangka mendatangkan uang.

No comments:

Post a Comment